Sunday, April 24, 2016

Sebuah catatan pendek untuk Romo Frans Magnis Suseno tentang Ahok

Baru saja, 22 April 2016, rohaniwan Gereja Katolik di Indonesia, yang juga bekerja sebagai seorang mahaguru di STF Driyarkara, Rawasari, Jakarta, Rm. Frans Magnis Suseno, menyatakan sesuatu di sebuah koran online Teropong Senayan tentang usaha relokasi penduduk kawasan Luar Batang oleh Pemprov DKI./*/

Rm. FMS melihat hal yang sedang terjadi adalah “penggusuran”, “pengusiran”, “kejahatan”, “kebiadaban”, “ketidakmanusiawian”. Beliau juga menghimbau atau juga memprovokasi warga mapan DKI untuk tidak “berpartisipasi dalam kebiadaban”, tapi harus berkeberatan dan melawan usaha-usaha penggusuran orang miskin yang sedang dijalankan Gubernur Ahok.

Hemat saya, FMS tidak tepat kalau bermaksud mendorong warga mapan DKI untuk bangkit lawan Ahok. Lagian, tak akan ada yang mau. Kalau mau unjuk pendapat, sebaiknya beliau datang saja langsung ke Balai Kota, debat ilmiah di sana dengan Gubernur DKI Pak Ahok. Adu mulut juga boleh. Asal jangan adu jotos.



Kekumuhan itu tidak manusiawi, tidak beradab, sumber banyak penyakit, TBC misalnya. Juga banyak bakteri yang kalau mendiami tubuh anak-anak, tubuh mereka lambat besar, ceking dan daya imunitas tubuh lemah. Kondisi ini umumnya akan bisa membuat kecerdasan anak-anak tidak dapat berkembang sehat.

Jangan juga dilupakan bahwa di negeri kita ini kekumuhan dan kemiskinan apapun dan dimanapun bisa dengan lihai dan licik dijadikan mesin-mesin pencetak uang oleh sejumlah kalangan yang tak punya nurani lagi.



Gubernur Ahok mau meniadakan kekumuhan. Bukan menggusur. Bukan mengusir. Rm. FMS salah, kalau bilang Gubernur Ahok menggusur atau mengusir. Ahok bukan Soeharto. Ahok merelokasi. Penduduk dipindahkan ke rusunawa atau rusunami yang dilengkapi dengan berbagai sarana-prasarana dan fasilitas lain yang menunjang. Bukanlah suatu permainan kata jika yang dipakai kata “relokasi”, bukan kata “menggusur” atau “mengusir”.

Setahu saya juga, Gubernur Ahok sudah menetapkan larangan untuk sebuah mall baru dibangun lagi di DKI yang hanya akan banyak menguntungkan para kapitalis pengembang dari berbagai latarbelakang etnis. Selain itu, Jakarta juga memerlukan lebih banyak lahan atau ruang terbuka hijau (RTH) yang luas, yang berfungsi utama sebagai lahan serapan curahan air hujan untuk ikut mengatasi banjir di DKI.

Nah, kalau anda mau tahu mana fakta (Pemprov DKI) dan mana fiksi (ciptaan Yusril dan FPI) tentang penataan kawasan Luar Batang dan kawasan Pasar Ikan, baik yang sudah dijalankan maupun yang sedang dan akan dilakukan, infonya sudah dibeberkan oleh Pemprov DKI dengan gamblang dan terang. Dalam hal ini, oleh Deputi Gubernur bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jaya, Oswar Muadzin Mungkasa. Silakan klik link kedua yang saya cantumkan di akhir catatan pendek saya ini./**/ Kalau anda atau, misalnya, Rm. FMS, masih juga tidak percaya setelah mengetahui fakta-fakta ini, ya jalan satu-satunya yang masih tertinggal adalah ini: lewat doa yang khusuk, anda tanya langsung ke Tuhan di langit yang sunyi tanpa ada demo apapun di sana, mana yang faktual dan mana yang fiksional.

Nah, terkait relokasi apapun, tentu masih ada soal-soal lain yang tidak bisa dengan secepat kilat terselesaikan, sama seperti kalau kita pindah ke sebuah rumah lain di kota lain atau di luar negeri. Perlu waktu untuk betah. Untuk adaptasi diri. Untuk cari pekerjaan atau usaha baru. Untuk bergaul dan berbudaya baru. Pendek kata, untuk hidup baru, bukan untuk mati berkali-kali.

Kerap terjadi apa yang dinamakan kejut budaya atau “culture shock” kalau orang pindah ke kawasan baru yang asing, khususnya kalau kita pindah ke suatu negeri lain yang penduduknya berbicara dalam bahasa asing dan hidup berbudaya yang berbeda. 

Nah semua tahap dalam beradaptasi, bersosialisasi dan menjalani suatu kehidupan baru di lingkungan yang baru ini, harus bisa dihadapi dan dilewati dengan melibatkan bantuan para profesional lintasbidang.

Jadi, lebih baik sebagai seorang rohaniwan, Rm. FMS terlibat dalam penanganan soal-soal sosiopsikologis itu yang muncul pasca-relokasi alih-alih memprovokasi warga mapan DKI untuk melawan Ahok. Sekali lagi, apa ada yang mau?

Saya sungguh kecewa kalau betul Rm. FMS berpandangan seperti yang terbaca dalam tulisan di Teropong Senayan tersebut di atas. Kelihatan beliau tidak tahu duduk persoalan sebenarnya yang memang tidak simpel. Saya sendiri diam-diam terus mempelajari langkah-langkah Gubernur Basuki dalam program-program relokasi penduduk di wilayah-wilayah tertentu DKI yang sedang diayunkannya.

Rm. FMS tentu punya kebebasan berpendapat. Tetapi sebagai seorang akademisi juga, mustinya beliau berpijak pada data dan fakta sebelum mengajukan pendapat negatif tentang relokasi penghuni kawasan Luar Batang. Pak Ahok punya segudang data di kantornya. Kunjungilah Gubernur Ahok di sana. Tukar pikiran tentang arah dan tujuan ke depan dari relokasi tersebut. Itu jauh lebih baik ketimbang sang romo ikut menyiram bensin ke dalam kobaran suasana yang sudah cukup panas untuk membakar lebih besar lagi.

Saya sudah cari info ke beberapa pihak yang kenal dekat Rm. FMS untuk memastikan apakah pendapatnya yang sudah viral sekarang ini otentik atau hoax atau aspal. Sampai detik ini, saya belum bisa memastikan.

Ada yang beri saya info, bahwa tulisan itu otentik, ditulis Rm. FMS di tahun 2003, ketika DKI dipimpin Gubernur Sutiyoso (6 Oktober 1997 hingga 7 Oktober 2007), tapi juga dibumbui oleh editornya dengan opininya sendiri di tahun 2016. Salah seorang yang berkeyakinan demikian adalah Yewangoe, mantan Ketum PGI. Artinya, Yewangoe tidak percaya kalau Rm. FMS dapat berpandangan demikian negatif tentang relokasi di tahun 2016 ini saat DKI dipimpin Gubernur Ahok.

Tetapi, ada seorang romo kolega Rm. FMS yang kepada saya kemarin telah menyatakan bahwa betul itu pendapat Rm. FMS saat diwawancara beberapa hari lalu, 22 April 2016, yang kemudian diterbitkan dengan diberi banyak bumbu tak sedap oleh si jurnalis pewawancara. Meskipun demikian, sang kolega FMS yang telah berkomunikasi dengan saya itu menegaskan bahwa “KTP-ku tetap buat Ahok sebab Ahok jauh lebih baik dibandingkan orang-orang lain yang mau mencalonkan diri!

Susahnya, Rm. FMS dikabarkan tetap membisu ketika seorang kolega beliau lainnya tadi pagi bertanya tatap muka dan memberitahu reaksi-reaksi yang sedang muncul terkait pendapat-pendapatnya tentang relokasi. Padahal mustinya Rm. FMS proaktif memberi klarifikasi. Ini membingungkan. Bukan mencerahkan. 

Sikap membisu itu sangat bisa ditafsirkan bahwa Rm. FMS  memang tetap konsisten dengan sikap dan pendiriannya sejak 2003 hingga 2016 bahwa beliau menolak setiap usaha penggusuran atau pengusiran orang miskin dari tempat-tempat tinggal mereka selama ini, sekalipun tempat-tempat tinggal mereka itu kumuh. Dengan sikapnya ini Rm. FMS jadinya menutup mata terhadap perbedaan sangat mencolok antara sikap Soeharto (dan penerusnya) dan sikap Gubernur DKI, Pak Ahok, terhadap orang miskin yang berdiam di kawasan-kawasan pemukiman kumuh atau di kawasan-kawasan yang oleh hukum dilarang dijadikan tempat tinggal. 

Kita semua pasti setuju bahwa tugas utama seorang gurubesar di bidang keilmuwan apapun adalah menyebar pencerahan dan kearifan, bukan kegeraman dan ketidaktahuan. Memberi bukan opini tanpa pijakan fakta dan data, tapi evaluasi ilmiah yang cerdas dan berintegritas.

Tetapi, apapun pendapat dan sikap Rm. FMS, itu urusannya sendiri. Yang penting, kita harus menentukan sikap dan pendirian kita berdasarkan nurani kita sendiri, kecerdasan, nalar, pengetahuan yang luas dan benar, dan marwah diri yang tidak boleh kita jual. 

Salam.
Jakarta, 24 April 2016
ioanes rakhmat