Friday, July 8, 2016

LGBT homofobik terselubung!


Telah diketahui bahwa kalangan LGBT (khususnya tipe distonik, yaitu LGBT yang tidak happy, dan tidak bisa menerima diri mereka apa adanya, dengan kehidupan yang tidak teraktualisasi!) potensial menjadi homofobik terhadap LGBT lain. Akarnya ini: tekanan sosiopsikologis yang sangat kuat, yang mereka alami dari orangtua dan saudara-saudara mereka di rumah, mereka pendam dan desak kuat-kuat ke dalam alam bawah sadar mereka.

Karena LGBT distonik jenis ini tidak ingin melawan dan melukai perasaan orangtua dan saudara-saudara mereka, mereka berusaha semampu mereka untuk hidup seolah mereka hetero, sesuai kehendak keluarga mereka. Akibatnya, mereka menyangkali dan menolak dengan kuat jati diri mereka yang sebetulnya LGBT. Inilah “self-rejection” atau “self-denial” yang mereka paksakan atas diri mereka sendiri. Akibat selanjutnya, mereka membenci diri mereka sebagai LGBT.

Tekanan sosiopsikologis yang dipendam ini, dan kebencian dan penolakan serta kemarahan mereka terhadap diri mereka sendiri, akhirnya mereka harus salurkan juga demi keseimbangan jiwa mereka kepada sesama LGBT dalam masyarakat; alhasil, LGBT jenis ini juga menjadi homofobik. 

Dalam relasi-relasi sosial, kultural dan religius, dan juga dalam urusan-urusan politik penyelenggara pemerintahan setempat, katarsis psikologis LGBT yang semacam ini membuat mereka tidak ragu untuk memperlihatkan sikap homofobik yang sangat garang, tindak kebencian dan kata-kata yang brutal terhadap sesama LGBT, yang juga muncul dalam banyak kebijakan pemerintahan dan perlakuan diskriminatif terhadap kalangan LGBT. 

Sudah banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa homofobia dalam diri LGBT timbul karena sikap dan kelakuan orangtua dan anggota keluarga yang represif, otoriter dan antipatetis terhadap para LGBT. Ini tentu saja suatu fakta yang mungkin sekali sangat mengagetkan bagi banyak orang yang selama ini menduga bahkan menuduh bahwa orang-orang yang membela LGBT sebetulnya adalah LGBT juga. Realitasnya ternyata kebalikannya./*/

Ambil satu atau dua contoh saja. Pendeta gereja evangelikal di Amerika Serikat, Ted Haggard, sangat anti-gay dalam khotbah-khotbahnya dan dalam sikap dan kelakuannya. Tapi di tahun 2006 Haggard terbukti terlibat skandal seksual dengan seorang gay. Begitu juga mantan ketua Young Republican National Federation, Genn Murphy, yang dikenal sebagai ideolog anti-LGBT dan perkawinan sejenis, telah dituduh melakukan serangan dan kekerasan seksual pada 2007 terhadap seorang pria berumur 22 tahun. Homofobia dalam diri LGBT juga menjadi penyebab dibunuhnya Matthew Shepard pada 1998. 

Hati-hatilah. Jika anda menudingkan sebuah telunjuk anda dengan penuh kebencian dan permusuhan terhadap LGBT, sangat mungkin anda sendiri sebetulnya LGBT homofobik terselubung. Nah lohhh!  

Adalah suatu hal yang mulia dan agung jika LGBT membela, melindungi, merawat dan menjaga sesama LGBT karena dorongan kasih sayang, kemanusiaan, hak-hak asasi, keadilan dan kesetaraan semua insan. Tetapi adalah suatu masalah psikologis dan etis yang berat jika LGBT menjadi homofobik terhadap sesama LGBT.

Jakarta, 8 Juli 2016
ioanes rakhmat

/*/ Lihat antara lain Cody DeHaan, Nicole Legate, et al., “Is Some Homophobia Self-phobia?”, University of Rochester News, 5 April 2012, pada http://www.rochester.edu/news/show.php?id=4040; Tralee Pearce, “Can homophobia sometimes mask same-sex desires”, The Globe and Mail, 10 September 2012, pada http://www.theglobeandmail.com/life/the-hot-button/can-homophobia-sometimes-mask-same-sex-desire/article4103783/; Monica Dybuncio, “Homophobia may reveal denial of own same-sex attraction, study suggests”, CBS News, 10 April 2012, pada http://www.cbsnews.com/news/homophobia-may-reveal-denial-of-own-same-sex-attraction-study-suggests/; Jeanne Bryner, “Homophobes Gay? Study Ties Anti-Gay Outlook to Homosexuality, Authoritarian Parenting”, HuffingtonPost Live Science, 9 April 2012 (dimutakhirkan 10 April 012), pada http://www.huffingtonpost.com/2012/04/09/homophobia-homosexuality-gay_n_1412846.html; Michelle Healy, “Study Examines the Roots of Homophobia”, USA Today News, 6 April 2012, pada http://usatoday30.usatoday.com/news/health/story/2012-04-03/homophobia-psychology/54082202/1.

Saturday, July 2, 2016

Apa teologimu, Pak? Liberal, bukan?


APA TEOLOGIMU, PAK? LIBERAL, BUKAN?

Jawab saya:

Oh saya sekarang fokus pada ilmu pengetahuan banyak bidang kehidupan. Ilmu pengetahuan terbukti banyak menolong manusia dan meringankan bahkan menaklukkan penderitaan.

Saya memandang ilmu pengetahuan sebagai sebuah jalan mulia menuju Tuhan yang mahatahu. Ilmu pengetahuan membuat saya dekat pada Tuhan yang tanpa batas. Boleh dikata, ini juga sebuah teologi, persisnya sebuah metode berteologi saya.

Sebaliknya, teologi-teologi umumnya lebih sering memecah belah umat manusia, membuat mereka saling menyerang dan membantai. Saling menista dan mengutuk. Bukan makin mendekatkan manusia pada Tuhan yang pengasih dan penyayang, teologi malah menjauhkan mereka dari Tuhan. Ini sebuah ironi yang real. Ironi yang muncul dari teologi yang buruk dan barbar.

Tapi, saya masih mau juga menghayati sebuah teologi yang bagus. Yakni teologi sosial. Kenapa teologi sosial?

Sebab Allah itu bagi saya Allah yang berwatak sosial: mau bersahabat dengan semua Allah lain yang agung, mau membangun masyarakat, baik hati dan murah hati kepada semua manusia dan segala organisme sadar lain, mau solider dengan manusia yang sedang menderita, mau berbagi, empatis, mau peduli, dan mau menolong siapapun yang sedang dalam kesusahan dan kesulitan.

Allah itu sunyi, sendiri, unik, tapi juga ramai, relasional, dan berdua, bertiga, berempat, berlima dan seterusnya. Dia ada di puncak tertinggi Mount Everest, bertapa, sunyi, sepi, sendirian, tapi dia juga ada di pasar-pasar tradisional yang becek, ramai, padat, kumuh, bising dan riuh. Ikut berbelanja sekilo garam, sebuah lampu tempel, sekaleng ragi, lima ketul roti dan dua ekor ikan.

Itulah teologi saya. Teologi sosial. Simpel saja.

Jakarta, 2 Juli 2016
Sang Sunyi