Wednesday, May 11, 2016

Cerdas Beragama Itu Tugas Kita!


Di atas ini gambar cover buku saya yang seharusnya sudah terbit di awal 2015 tahun lalu. Tapi karena masih ada suatu hambatan, belum mampu saya terbitkan. Semoga di tahun 2016 ini akan bisa terbit. Atau, mungkin juga terkendala untuk diterbitkan. Saya hanya bisa membisu.

Judulnya: Cerdas Beragama Itu Tugas Kita! Saya akhiri judul ini dengah sebuah tanda seru. Ya, sebuah tanda seru!

Isinya terfokus pada ihwal bagaimana membuka diri pada berbagai sains modern untuk membuat kita cerdas beragama. Bukan memusuhi sains. Bukan mempelintir sains untuk dicocok-cocokkan dengan agama, atau memperbudak sains untuk memuliakan agama. Tetapi bagaimana sains, sebagai sains, berguna untuk menjadikan orang cerdas, tidak lagi bodoh, dalam beragama. Itu tujuan utama saya menulis buku ini. Pencerahan itu mencakup kecerdasan dalam beragama.

Beragama itu bukan soal ketaatan saja, apalagi ketaatan membuta, tapi juga soal kecerdasan, soal ilmu pengetahuan, soal senibudaya, soal kemanusiaan, soal kehidupan, soal planet Bumi, dan soal kreativitas dan plastisitas otak kita!

Buku CBITK! berbeda dalam sangat banyak segi dari buku sejenis yang sudah saya terbitkan sebelumnya yang berjudul Beragama dalam Era Sains Modern (2013).

Dalam buku CBITK!, saya memakai banyak ragam kisah menawan yang saya kombinasikan dengan perspektif-perspektif keilmuwan modern, untuk mengemas ulang gaya dan konten beragama di zaman sekarang. Tanpa usaha pengemasan ulang ini, bahkan tanpa reformulasi konten agama, saya terpaksa harus menyatakan bahwa agama-agama pada akhirnya hanya akan mendiami museum fosil-fosil doktrinal yang tidak lagi fungsional di zaman kini dan di dunia kita sekarang.

Di sudut kanan bawah cover buku ini, pada monitor sebuah notebook tampil gambar sosok Siddhartha Gautama. Kenapa sosok ini yang saya munculkan?

Tentu bukan karena isi buku CBITK! itu uraian tentang Buddhisme. Tapi karena ada satu ucapan panjang yang bagus, yang diasalkan pada Gautama, yang meminta orang untuk memakai observasi, pertimbangan dan analisis rasional sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak sebuah doktrin atau kepercayaan keagamaan apapun. Nalar dan analisis rasional, bukan otoritas yang disucikan (entah satu sosok manusia, entah akidah yang disakralkan, ataupun suatu kumpulan teks yang diilahikan, dst), harus menjadi landasan utama keberagamaan setiap orang. Itu sebetulnya inti buku saya yang akan segera terbit ini.

Pada halaman awal buku ini, ucapan panjang Gautama Buddha itu saya kutip selengkapnya. Buku ini tebal, mencapai 500 halaman lebih.

Nantikanlah terbitnya! Thank you.

Jakarta, 11 Mei 2016
ioanes rakhmat