Saturday, October 15, 2016

Entah Sampai Kapan?


Hidup dikayuh terus
Maju ke masa depan
Tanpa pinggiran dan tepian
Terus, terus, tak putus

Entah hingga kapan
Yang penting laju lurus
Miliki daya tahan
Tahu tugas Sang Pengutus

Terus ulurkan tangan
Dengar seruan jeritan
Orang terhanyut di arus depan
Lajukan perahu ke depan

Tarik mereka ke atas
Dari pecahan papan
Beri mereka nafas
Agar hidup bertahan
Tak mati lemas melas

Jika satu terselamatkan
Girang sang Dewa Welas
Air mata tak tertahan
Menetes berderai ke gelas

Di langit sang rembulan
Tertawa riang bebas
Bergemulai rerumputan
Menari-nari selaras
Bersama gerak rembulan

Naiklah ke atas pentas
Rayakan terus rayakan
Kayuh, dayung hingga tuntas
Tak terhenti di tanjakan

Terbang bersama unggas
Terbang terbang terus
Hingga titik terdepan
Entah sampai kapan?

Menantikah Sang Abadi di depan?
Jawaban dari awan-gemawan
Tak pernah tiba di pangkuan
Terus, teruslah naik lewati awan!

Walau yang dijumpa di depan
Hanya kekosongan!
Sambut dia dengan belaian
Gendong dalam buaian!

Gendong, gendong, gendong....!
Jangan melongo bengong!
Tangkap bunyi lolong
Dari jagat yang kosong!

Jakarta, 15 Okt 2016
Sang Sunyi

Sumber image:
https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/564x/30/ee/70/30ee70ee47ff3a91e760d618fc285061.jpg

Tuesday, October 11, 2016

Pakar, Koar, Kelakar, dan Belukar


1. Logical fallacy “argument from authority”: Mendasarkan kebenaran pada ketenaran atau kesohoran sosok manusia dalam suatu bidang. Ini cacat logika. Ada dua jenis: “Argumentum ad verecundiam” dan “argumentum ad auctoritatem”.

2. Cacat logika, karena kebenaran tidak ditentukan sosok manusia, pakar (“ad auctoritatem”) maupun bukan pakar (“ad verecundiam”).

3. Cacat logika, karena kebenaran bergantung pada bukti dan argumen valid yang dibangun di atas bukti, bukan pada sosok manusia.

4. Cacat logika, karena setenar apapun satu sosok manusia, pendapatnya hanya benar sejauh didukung bukti dan argumen yang valid yang dilandaskan bukti.

5. Cacat logika, karena tersohor sekalipun, si pakar tetap harus membuktikan klaimnya jika klaimnya mau dinilai benar dan absah sebagai pengetahuan.

6. Cacat logika, karena pakar pun bisa jadi kelakar dan belukar jika bicara asal bunyi tapi tak bisa ajukan bukti dan argumen yang valid yang berpijak pada bukti. Merekalah pakar yang tidak belajar lagi, tapi suka sekali koar, tengkar dan sop tangkar.

7. Jadi, tolaklah “argumentum ad verecundiam” ataupun “argumentum ad auctoritatem” saat mencari kebenaran karena keduanya cacat logika.

Jakarta, 11 Oktober 2016
ioanes rakhmat