Friday, December 16, 2016

De-Extinction: Menghidupkan kembali yang sudah punah!


Mammoth dan Tyrannosaurus rex (T-Rex)

Tahukah teman-teman bahwa sekarang ini kita kehilangan 30 sampai 150 spesies SETIAP HARI dari semua spesies hewan yang diketahui hidup di planet Bumi?

Kepunahan ini 1.000 kali lebih tinggi jika dibandingkan yang terjadi sebelum Homo sapiens, manusia cerdas, mengatur Bumi dan kehidupan.

Sejak era prasejarah, kitalah, manusia, biang keladi utama kepunahan besar hewan-hewan nonmanusia lewat: perusakan habitat; perubahan iklim akibat perbuatan manusia; polusi; perburuan liar; dll.

Kepunahan hewan-hewan ini oleh para ilmuwan dinamakan Mass Extinction, atau Kepunahan Massal. Manusia jadinya memikul tanggungjawab moral untuk mencegah atau mengatasi kepunahan ini, bukan hanya demi hewan-hewan lain, tapi juga untuk masa depan yang lebih sehat dan lebih berdayatahan umat manusia sendiri. 

Untuk mengatasi Kepunahan Massal ini, para ilmuwan menyusun dan menjalankan metode atau teknik pelanggengan spesies yang sudah punah atau yang terancam segera punah, yang dinamakan metode DE-EXTINCTION, atau metode pencegahan kepunahan. Metode ini bertujuan untuk menghidupkan kembali spesies hewan-hewan yang telah punah atau membuat klon-klon hewan-hewan yang segera punah.

Metode DE-EXTINCTION melibatkan beberapa cabang sains-tek bersamaan, yakni teknik reproduksi yang dibantu, biologi stem cell, dan pengeditan gen (yang dikenal dengan nama DNA-editing CRISPR Cas9 yang semakin maju dan bervariasi). Dengan metode ini, bukan saja spesies-spesies lama yang sudah punah dapat dihadirkan lagi, tapi juga kita dapat mempertahankan dan melestarikan spesies-spesies yang sudah sangat langka dan terancam segera punah dari planet kita. 

Kalau sudah berhasil dihidupkan lagi, hewan-hewan yang pernah punah itu akan ditempatkan di lingkungan habitat masing-masing di era modern dan di sana mereka akan berinteraksi positif dengan lingkungan alam mereka; alhasil ekosistem-ekosistem yang juga terhubung dengan kehidupan sehat Homo sapiens akan dapat dipulihkan jika sebelumnya sakit, rusak atau sudah sekarat. 

Anda pasti bertanya, metode DE-EXTINCTION sudah diterapkan sejauh mana saat ini? 

Hingga saat ini DE-EXTINCTION yang sedang menarik perhatian tengah diupayakan terhadap hewan mirip gajah tapi bertubuh besar, berbulu lebat dan panjang, dan memiliki dua taring yang panjang dan melengkung ke atas. Nama hewan besar dan kuat ini mammoth atau mamut yang pernah hidup di Zaman Es atau Pleistocene Era yang mulai berlangsung 1,8 juta tahun lalu hingga kurang lebih 11.700 tahun lalu. Di era ini bagian besar muka Bumi tertutup lapisan sungai es atau gletser. 

Selain itu, metode DE-EXTINCTION sejauh ini juga sudah dan sedang digunakan terhadap: 

• badak putih raksasa di Afrika yang kini cuma tersisa 3 ekor;
• sejenis musang berkaki hitam di Amerika Utara yang sedang terancam punah karena penyakit dan ketidakmampuan untuk berkembangbiak;
• kodok yang mengerami telur-telur di dalam perut mereka. Kodok ini memiliki mekanisme biologis untuk menghentikan produksi enzim-enzim perut yang bisa melumatkan telur-telur yang akan menetas dan anak-anak mereka yang baru jadi. Para ilmuwan medik kini sedang mempelajari mekanisme penghentian produksi enzim pada kodok ini untuk kelak digunakan bagi penyembuhan radang dan borok dalam organ-organ perut manusia;
• kambing gunung bukardo yang pernah hidup di kawasan pegunungan Pyrenia yang memisahkan Prancis dan Spanyol. Satu ekor terakhir bukardo, betina, yang diberi nama Celia, mati karena penyebab alamiah. Sewaktu masih hidup para ilmuwan sempat mengambil sel-sel Celia, yang kemudian diklon; lahirlah anaknya yang berwarna coklat. Sayangnya, anak kambing gunung terakhir ini mati beberapa menit setelah dilahirkan akibat problem pernafasan;
• guagga, yakni seekor hewan yang hidup di Afrika, mirip zebra yang ganjil. Strip pada bagian punggungnya jarang;
• aurokh, spesies pendahulu sapi modern, dengan tanduk yang besar;

Mungkin teman-teman sudah berpikir bahwa lewat teknik DE-EXTINCTION era Jurassic akan bisa dikembalikan ke zaman modern kini. Film fiksi buah tangan Steven Spielberg Jurassic Park atau Jurassic World segera akan menjadi fakta yang real di abad ke-21 ini. Apa reaksi anda? Galau? Gamang? Takut? Atau malah antusias?

Sayangnya, sejauh ini para ilmuwan baru bisa menerapkan metode DE-EXTINCTION hanya ke DNA yang umur maksimalnya 1 juta tahun, sebab setelah lewat 1 juta tahun DNA-DNA hewan-hewan purba hancur dengan sendirinya. Kita tahu dinosaurus punah 66 juta tahun lalu karena bencana alam yang merusak semua ekosistem di Bumi akibat sebuah meteor besar seukuran kota Manhattan menumbuk muka Bumi di Semenanjung Yukatan yang kini dikenal sebagai Meksiko. 

Tapi di masa depan para ilmuwan tentu akan mampu merekonstruksi DNA-DNA purba yang sudah hancur dan rusak. Hewan-hewan purba yang keras dan berbahaya pun yang sudah punah kelak akan bermain-main bersama anak-anak manusia di generasi-generasi yang akan datang.

Orang-orang besar dengan prestasi-prestasi cemerlang bagi peradaban manusia, yang sudah mati, juga dapat dihadirkan lagi di hadapan anda sekarang hidup-hidup untuk mereka melanjutkan tugas-tugas agung mereka. Bukankah luar biasa hebat jika Albert Einstein atau Plato hadir lagi atau dilahirkan kembali seutuhnya tahun 2017 atau sepuluh tahun lagi?

Nah, apakah semua ini “a good news” ataukah “a bad news”? Jawablah sendiri IN THE SILENT.


Sumber http://www.nbcnews.com/mach/innovation/why-extinction-doesn-t-have-be-forever-anymore-n696106

Jakarta, 16 Desember 2016
ioanes rakhmat