Tuesday, March 7, 2017

Kehilangan minat pada agama? Ah, masak sih?



MABUK AGAMA versus MUAK AGAMA?
Aaaah, keduanya akan muntah!

Halloouuww, apa kabar kalian, teman-teman? Seseorang beberapa waktu yang lalu mengajukan sebuah pertanyaan yang itu-itu juga untuk saya jawab.

Tanya: Kenapa anda kini tampak kehilangan minat pada agama? Anda dikesankan orang sudah muak pada agama, mual dan mau muntah, betulkah?

Jawab: Loh, siapa yang bilang saya kehilangan selera, atau bahkan muak, pada agama-agama? Orang yang menyatakan begitu, pasti tidak mengerti isi pikiran dan sikap saya. Yang sudah pasti, saya tidak sedang hamil muda.

Tapi saya dapat memahami jika anda bertanya demikian, ya mungkin karena anda melihat banyak fakta buruk terkait agama. Makin banyak orang yang kini tidak menyukai agama-agama lagi karena citra buruk dan durjana yang telah dan sedang diperlihatkan para agamawan radikalis dan esktrimis sedunia. Mereka beragama, tapi malah menjadi keras, kejam, durjana dan kehilangan kasih sayang.

Sejak kecil, lewat pengasuhan para guru Buddhis, dan saat usia remaja dan pemuda ketika diasuh para guru Kristen, saya dididik untuk memahami dan menjalankan dua agama ini dengan riang gembira, happy, dan penuh syukur, sebagai jalan-jalan lurus kasih sayang, kelembutan dan pelayanan kepada sesama manusia, siapapun mereka, dan kepada masyarakat dan dunia.

Tidak ada bayangan dalam benak saya waktu itu bahwa beragama itu akan melahirkan orang yang jahat, keras hati, pemarah, pendendam, tukang fitnah, brutal, durjana dan penghancur peradaban.

Baru-baru ini, beberapa neurosaintis meneliti ihwal apakah ada korelasi struktur neural anatomis dalam organ otak dengan sifat keras hati, pemarah dan pendendam pada satu sisi, dan dengan sifat lembut hati, sabar dan pemaaf pada sisi lain, yang diperlihatkan seseorang kepada orang lain yang telah berbuat salah kepadanya khususnya dengan tanpa disengaja. Temuan mereka sangat menarik. Mau saya beberkan singkat di bawah ini.

Kemampuan kita untuk memaafkan atau untuk mendendam, MEMILIKI BASIS NEURAL ANATOMIS dalam otak kita, persisnya pada bagian otak yang dinamakan ANTERIOR SUPERIOR TEMPORAL SULCUS (aSTS).

Makin besar volume materi abu-abu bagian aSTS otak ini, makin pemaaf kita. Hidup jadi terasa relaks, ringan dan friendly. Makin kecil aSTS, makin pendendam kita, dan hidup pun jadi meledak-ledak, musuh makin banyak. Hidup dirasakan berat. Ini akhirnya bermuara pada ketidakbahagiaan dan depresi yang membahayakan.


Baca dan dalami kajian tersebut, serta kaitkan dengan temuan-temuan neurosains lainnya tentang watak dan perilaku manusia, khususnya yang menyangkut agama-agama. Artikel kajian tersebut tersedia di https://www.neurosciencenews.com/forgiveness-neurobiology-6373/amp.

Karena jejaring neural otak kita dinamis, "malleable", lentur untuk dibentuk ulang, dan juga interkonektif plastis, pertanyaannya adalah: Faktor-faktor eksternal apa yang dapat membuat volume aSTS besar, atau kecil atau menciut?

Siapa dan bagaimana kita ini, dibentuk oleh genetic factor (GF) dan environmental factor (EF; termasuk epigenetic factor, yaitu faktor kondisi hormonal dalam rahim dan kondisi mental seorang bunda saat sedang mengandung).

EF ini mencakup hal-hal eksternal yang datang dari luar instruksi dan kode genetik kita. Pendidikan, gaya hidup, pengasuhan, pergaulan, pengalaman, komunitas keluarga, komunitas sosial, termasuk EF. Jika anda biasa dididik dan diberi teladan hidup yang mampu memaafkan dan memeluk orang yang bersalah, apalagi yang telah meminta maaf, maka aSTS anda akan bertumbuh membesar.

Kalau anda diajar untuk terus membenci dan keras hati terhadap orang lain yang bersalah atau anda anggap bersalah, bahkan yang telah meminta maaf dengan tulus, aSTS anda akan makin ciut, dan kondisi ini berdampak negatif pada bagian-bagian otak lainnya secara sistemik anatomis.

Jadi, sifat atau watak yang lebih menetap apakah si X itu pemarah, pendendam dan pembalas, ataukah pemaaf dan berhati lembut, terhadap si Y yang telah berbuat salah kepada si X dan, karena kesalahannya itu tidak disengaja, si Y telah minta maaf, bukan cuma dibentuk oleh isi ajaran dan pendidikan keagamaan dan budi pekerti mulai di rumah sendiri hingga di dalam masyarakat.

Ada segi struktur neural anatomis (segi biologis atau faktor genetik) juga yang berinteraksi dengan faktor-faktor eksternal lingkungan kehidupan. Volume aSTS kecil bisa karena instruksi genetik (menurut para genetikus, 30-50 % kepribadian kita dibentuk oleh GF kita), tapi bisa juga mengecil atau terus makin kecil karena si individu memang diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang sengaja mengajar dan mengarahkannya untuk selalu cepat marah dan tersinggung, mendendam, dan harus membalas.

Temuan ini harus membuat kita lebih serius lagi terhadap dampak EF yang membuat seseorang jadi bersifat pemarah, pendendam dan pembalas, yang dapat berperan juga dalam mengecilkan volume aSTS.

Pada gilirannya, kita harus mewaspadai volume aSTS yang kecil atau yang mengecil dapat berdampak sistemik neural anatomis pada bagian-bagian lain otak yang dapat menimbulkan masalah mental lainnya. Akibatnya, si individu akan menderita makin banyak masalah dalam sifat, watak, sikap dan kelakuannya dalam relasi-relasi sosialnya.

Jadi, pertanyaan mengapa para radikalis keagamaan--yang mengklaim diri beragama dengan sangat serius-- umum sekali adalah orang-orang yang jahat, pemarah, pembalas, dan telah kehilangan kasih sayang, dapat didiagnosis dari perspektif-perspektif yang telah diuraikan di atas. Ini diagnosis yang empiris.

Bagaimanapun juga, sangat sulit untuk anda dan saya menerima fakta real bahwa ada banyak orang yang karena serius beragama, malah jadi kehilangan kasih sayang dan semangat untuk menolong dan melayani orang lain yang berbeda agama atau yang berbeda aliran dalam satu agama. Ini memang sikon yang sangat memukul jiwa dan menimbulkan rasa muak dalam diri orang yang beragama dengan baik-baik. Muak terhadap agama-agama pada umumnya, dan khususnya terhadap agama sendiri.

Dalam sikon lelautan keagamaan yang berbadai itu, banyak agamawan memilih jadi ateis, terang-terangan, atau sebagai kripto-ateis, yaitu para ateis gelap-gelapan, tidak berani dengan jujur dan terbuka menyatakan diri ateis, karena sejumlah pertimbangan dan kegamangan. Atau bahkan mereka menyebut diri sendiri sebagai agamawan ateis, suatu frasa oxymoronik yang bikin kepala dan kelapa muda keleyengan.

Oxymoron itu dua hal yang bertentangan, yang dijadikan satu, tidak ada dalam realitas, hanya ada dalam dunia senibudaya, dalam puisi misalnya, dan dalam retorika ideologis politis yang kosong fakta. Bumi datar, atau ujung Bumi, ini sebuah oxymoron. Cinta yang penuh kebencian, atau es goreng, atau si pandir yang cerdas, atau lingkaran segitiga, atau koruptor soleh, semuanya oxymoron.


Nah, saya sekarang langsung saja harus kembali menegaskan bahwa setiap agama itu kaya raya dengan metafora dalam berbagai kemasan dan konten.

Kata metafora dibentuk dari dua kata Gerika meta, artinya melampaui sekaligus berada bersama atau sesudah hal lain atau di balik sesuatu, dan ferein, artinya menyeberang atau membawa atau memindahkan ke seberang atau dari suatu tempat ke suatu tempat lain.

Metafora dapat berupa lukisan, kisah, mitos, gambaran-gambaran, images, simbol, tanda, karya-karya senibudaya artistik seperti patung atau bangunan, ritual, imajinasi, fiksi, kiasan, ibarat, perumpamaan, pengakuan, testimoni, dongeng, komik, karikatur, puisi, film, permainan, dll.

Lewat metafora, orang zaman kuno yang menyusun kitab-kitab suci dibawa masuk atau diseberangkan ke kawasan-kawasan lain yang dipercaya ada di balik atau melampaui kawasan kehidupan real mereka sehari-hari.

Mereka memerlukan kawasan-kawasan metaforis itu dan bantuan-bantuan yang datang dari sana untuk bisa kuat dan tabah serta tegar dalam menjalani kehidupan yang dirasakan berat. Atau untuk tetap bersemangat tinggi dalam bertempur melawan musuh atau dalam menghadapi berbagai bencana alam yang dahsyat. Atau untuk mendapatkan jawaban, bimbingan dan penghiburan ketika mereka sedang mengalami banyak pergumulan dan persoalan hayati eksistensial.

Orang yang menyusun agama-agama di zaman kuno membayangkan kawasan-kawasan lain ini sebagai dunia transenden, kawasan adikodrati, dunia supernatural, kahyangan, puncak Gunung Olympus dan banyak gunung lain, Gunung Sinai misalnya, atau sebagai sorga, dunia para malaikat dan bidadari, takhta para dewa, langit lapis teratas, dunia di atas pelangi, dunia bawah, hades, atau syeol, kawasan neraka, dunia gaib, rumah tinggal roh-roh atau makhluk-makhluk halus seperti setan, jin, hantu, dedemit, genderuwo, atau bahkan dunia organisme alien, dst.

Tentu saja orang modern yang sudah tahu kosmologi, astrofisika dan astronomi modern tidak akan memandang kawasan-kawasan metaforis supernatural yang diimajinasikan insan-insan purba sebagai realitas empiris objektif faktual yang bisa dicerap oleh lima indra insani (inilah makna kata empiris) atau dengan bantuan instrumen teknologis modern seperti kamera, teleskop, mikroskop, stetoskop, spektroskop, atau bahkan mesin sains terbesar dunia Large Hadron Collider, dll. Kita memandang kawasan-kawasan itu sebagai kawasan imajiner, dunia impian, dunia angan-angan, dunia fiksi, dunia fantasi, alam mitologis.

Meskipun demikian, tidak seperti sikap dangkal orang ateis yang menolak, menyepelekan bahkan membenci semua metafora keagamaan, saya melihat ada banyak keindahan dan manfaat filosofis, moral, artistik, eksistensial dan edukatif dari metafora-metafora keagamaan yang disusun dengan imajinatif oleh insan-insan yang hidup di era pramodern dan prailmiah.

Kitalah yang sok tahu, bodoh dan bebal jika memandang kitab-kitab suci kuno yang berisi sangat banyak metafora sebagai kitab-kitab iptek modern, dan memahami metafora-metafora yang dibangun insan-insan purba sebagai fakta-fakta empiris faktual. Ini posisi kalangan literalis skripturalis absolut. Pola pikir mereka mustahil berubah karena mereka telah menjadi korban-korban indoktrinasi dan cuci otak yang telah berlangsung lama.

Pada sisi lain, orang ateis juga menjadi sangat bebal dan salah kaprah kebangetan ketika mereka menegaskan bahwa mereka baru akan percaya teks-teks kitab suci apapun jika apa yang dinyatakan teks-teks itu ada bukti empirisnya dan sejalan dengan temuan-temuan iptek modern. Bebal dan keterlaluan salah kaprah karena mereka maunya semua kitab suci itu kitab iptek, buku IPA dan buku disiplin-disiplin lain ilmu pengetahuan. Sampai jagat raya ini menciut dan mengerucut kembali pun, bermilyar-milyar tahun dari sekarang, buku suci agama apapun tidak akan pernah jadi buku iptek.

Orang ateis tidak suka kitab suci karena isi kitab suci bukan kajian-kajian iptek, tapi 85 persen metafora. Tuding mereka juga, metafora-metafora kitab-kitab suci yang sebetulnya ungkapan-ungkapan figuratif hingga saat ini selalu dipahami dan diikuti harfiah (maksudnya: apa adanya sebagaimana tertulis) oleh orang yang beragama. Akibatnya, kata mereka lagi, watak, sikap, kelakuan dan perbuatan orang yang beragama menjadi jahat, keji, keras, tak masuk akal sehat, apalagi akal ilmiah. Terhadap sikap dan pendapat orang ateis ini, saya perlu beri beberapa catatan.

Banyak orang ateis yang tidak menyadari bahwa sementara pada satu sisi mereka membuang metafora-metafora purba, pada sisi lain mereka, dengan tidak konsisten, sangat menikmati metafora-metafora modern seperti metafora-metafora Spiderman, Batman, Superman, Hulk, Transformers, Doraemon, Dragon Ball, Lion King, The Beauty and the Beast, Harry Potter, Kungfu Panda, King Kong, dll.


Kita sebaiknya jujur saja mengakui bahwa setiap manusia, sejak kanak-kanak hingga lansia, untuk hidup sehat, raga dan mental, membutuhkan bukan hanya roti atau nasi dan lauk-pauk dan aqua, tetapi juga metafora-metafora, fiksi-fiksi, imajinasi, fantasi, impian-impian, angan-angan, dongeng-dongeng.

Sampai sekarang, sejumlah kisah fiktif dalam Buddhisme dan Kekristenan yang sudah saya ketahui dan dengar di usia remaja, dan juga dongeng-dongeng kanak-kanak sedunia (karya pujangga Denmark, Hans Christian Andersen, misalnya), tetap mampu menyentuh dan menggerakkan hati dan pikiran saya dengan positif meski saya tahu pasti kisah-kisah itu semuanya fiksi.

Menarik dan menghayati nilai-nilai kehidupan yang positif dari berbagai metafora tentu saja tidak sama dengan menerima metafora-metafora itu sebagai fakta-fakta. Sikap yang pertama menunjukkan kearifan dan keluasan cakrawala kehidupan; sikap yang kedua memamerkan ketidaktahuan dan kedunguan.

Ada metafora atau fiksi yang membangun, dan tentu saja juga banyak yang tidak mendewasakan dan yang merusak. Anda tidak perlu diberitahu lagi bahwa anda harus cerdas dan arif memilih metafora-metafora yang akan bermanfaat positif dan membangun kehidupan anda dan orang lain di sekitar anda.

Metafora yang dikenal dan disukai betul oleh orang Kristen yang menggambarkan Yesus berjalan di atas air, dengan menginjak-injak air yang sedang bergelombang besar bak air bah, adalah sebuah metafora yang sangat positif bagi orang-orang Kristen yang sedang menghadapi gelombang-gelombang persoalan besar dalam kehidupan mereka di dunia real.

Sudah pasti, kapan pun di muka Bumi ini tidak ada satu orang pun dengan alamiah dapat berjalan di atas air yang dalam, kecuali dalam film-film atau video-video iklan personal branding seorang selebritas, atau jika anda mengendarai sebuah flyboard atau Hoverboard atau Jetpack yang canggih.


Bagaimanapun juga, metafora Yesus berjalan di atas air, ketika divisualisasi dalam pikiran dan batin seorang Kristen yang sedang sangat menderita lalu membenamkan diri dalam doa-doa, akan memberi dampak mental dan pengaruh ragawi yang positif, menyembuhkan, menguatkan, dan membangun kembali kepercayaan dirinya yang dipusatkan pada sosok Yesus.

Sejumlah teman saya yang ateis pernah menyatakan keras-keras kepada saya bahwa mereka tidak butuh metafora Yesus berjalan di atas air sekalipun mereka mengaku sedang mengalami banyak persoalan berat yang menyiksa. Kata mereka, sebagai ateis mereka punya kepercayaan diri yang kuat sehingga tidak perlu mencari bantuan dari Tuhan apapun yang ada di langit, dalam sikon apapun.

Jawab saya kepada teman-teman ateis ini, Baiklah kalau memang anda sekalian sudah dapat menjadi Tuhan yang very strong and powerful untuk diri anda sendiri. Saya kagum pada anda semua yang tangguh dan tidak rapuh. Tetapi hormati juga 4 milyar orang dewasa yang kini masih percaya dan berdoa kepada Tuhan mereka masing-masing.

Bagi saya, lepas dari ihwal apakah Tuhan itu ada atau tidak ada, mereka yang berdoa itu tidak otomatis harus kita nilai lemah. Justru karena mereka bisa percaya dan berdoa, dengan hasil mereka menjadi tabah dan kuat, dan kehidupan mereka tumbuh menjadi agung dan mulia karena kekuatan iman mereka, maka mereka juga sangat patut dikagumi.

Metafora teologis yang akbar punya kekuatan untuk menjadikan orang besar dan mulia. Siapakah di dunia ini yang tidak respek dan kagum pada Martin Luther King, Jr., Uskup Desmond Tutu, Mahatma Gandhi, aktivis Nelson Mandela yang kemudian menjadi Presiden Afrika Selatan, Dalai Lama XIV, Abdurrahman Wahid, dan masih banyak lagi?

Lalu, adakah metafora keagamaan yang buruk dan harus dijauhi? Ada, sangat banyak. Ambil satu atau dua contoh saja.

Metafora Tuhan memimpin berbagai perang suci, dan memerintahkan pemuja Tuhan ini untuk membantai habis suku-suku bangsa lain, dan menjarah mereka, adalah metafora yang buruk dan keji. Metafora Tuhan melenyapkan nyaris 100 persen umat manusia lewat air bah yang menerjang dan menutupi muka Bumi selama 40 hari 40 malam, juga sebuah metafora yang durjana. Tinggalkan metafora-metafora semacam ini. Jangan biarkan metafora-metafora yang keras dan menyampaikan pesan-pesan yang durjana membentuk watak, pikiran, kehendak, perasaan, perangai, kelakuan dan tindakan anda.

Metafora Tuhan memerintahkan seorang ayah untuk menyembelih putera sulungnya sebagai korban yang harum buat Tuhan ini, dilihat dari perspektif masa kini, jelas adalah sebuah metafora yang melawan nurani, akal sehat dan hukum positif yang melindungi setiap anak dari KDRT.

Sayangnya, ya sangat banyak orang yang beragama yang malah memilih dan mengaktualisasikan dengan bulat-bulat, harfiah, metafora-metafora keagamaan yang merusak dunia, kehidupan dan peradaban manusia. Mereka beragama dengan bodoh, penuh stres, tidak cerdas dan tidak arif. Mungkin karena nurani mereka sudah mati, dan ada kerusakan neural pada bagian-bagian tertentu otak mereka yang terjadi bisa karena indoktrinasi dan cuci otak yang sudah berlangsung lama dan intensif atas diri mereka.

Sejujurnya, pada sisi lain, saya mau menyatakan bahwa saya mengalami fakta bahwa masuk ke dunia metafora itu, tentu dengan selalu mempertahankan sikap kritis dan cerdas, sangat menawan. Mengapa? Karena dunia metafora kaya dengan simbol, ibarat, kisah, mitos, pesan moral, perenungan spiritual, tafakur eksistensial, pergulatan etis, teka-teki, paradoks, keindahan senibudaya kuno, meditasi, introspeksi, kearifan, dan pertanyaan-pertanyaan besar (big questions) tentang asal-usul, maksud dan tujuan kehidupan manusia dan cara menjalani kehidupan.

Dengan begitu, lewat agama, kita akan MEMAHAMI bagaimana orang zaman kuno bergumul tentang kehidupan dan kematian, kebaikan dan kejahatan, kebahagiaan dan kesedihan, kejujuran dan kebohongan, harapan dan rasa putus asa, duka dan suka, sakit dan sehat, cuka dan gula, madu dan racun, garam dan kecap, nasib sial dan hoki, dst. Jadi, jika orang MEMAHAMI apa itu agama dan kenapa agama diinvensi manusia, dan untuk apa teologi-teologi dan simbol-simbol metaforis dibangun, agama tidak akan membosankan.

Anekaragam pergumulan, pertanyaan, pencarian, penemuan, atau kegagalan, eksistensial ini diungkap lewat anekaragam metafora. Ada yang gamblang dan mudah ditangkap. Ada juga yang menjelimet dan sulit dicerna ketika dipandang sekilas. Tapi biasakanlah untuk tidak memandang apapun dengan sekilas.

Cari waktu dan tempat yang tepat untuk bertafakur dalam-dalam tentang segala pertanyaan besar kehidupan dalam jagat raya. Baik sekali jika ini bisa dilakukan lewat meditasi pasif dengan duduk bersila, ataupun lewat meditasi aktif dengan membaca buku-buku hebat dan merenungkan isi semuanya dalam-dalam dan seimbang, atau dengan mengunjungi kawasan-kawasan yang menyajikan kita banyak pemandangan baru yang memacu kita untuk terus-menerus merenung.

Dari pemahaman yang kita sudah bisa peroleh lewat pendekatan-pendekatan yang sudah digambarkan ringkas di atas, kita jadi bisa lebih cerdas, tidak dungu, lebih arif dan telaten dan lebih bajik dalam menjalani kehidupan kita SEKARANG di TEMPAT YANG BERBEDA dari orang zaman kuno di dunia yang lain.

Kalau kita menemukan hal penting yang sudah saya tulis dalam paragraf-paragraf di atas, kita tidak akan menjadi radikal fundamentalis dalam beragama. Juga tidak dibuat bosan atau muak pada agama-agama.

Pada sisi lain, tentu saja setiap hari di banyak tempat, jujur saja, kita sering mendengar ucapan-ucapan kebencian dan rasis atau SARAis, pendapat-pendapat yang dangkal, anti-sains, fitnah, dan melihat tindakan-tindakan yang menjijikkan dan memuakkan, dari orang-orang yang mengaku paling suci dan paling sempurna dalam beragama.

Fakta ini harus kita akui: Agama itu dapat bagus sekali untuk membentuk keagungan budi insan-insan yang eling. Tetapi agama, patut disesalkan, juga bisa menjadi tempat berlindung dan berkamuflase orang-orang yang munafik, yang tamak harta, kedudukan dan kekuasaan, dan hobi berpestapora. Yaitu mereka yang memakai kehidupan mereka hanya untuk menikmati dan menyerakahi Wein, Weib, Gesang, Geld und Macht. Pesta pora, syahwat, uang, dan kekuasaan.

Nah, kembali ke topik kita. Saya dengan santai kerap menengok kitab-kitab kuno yang disucikan dan masuk ke kehidupan dan cara berpikir orang zaman kuno di dunia yang berbeda. Tetapi UNTUK KEHIDUPAN SAYA SEKARANG DI TEMPAT SAYA, ya jelas SAYA SENDIRILAH YANG HARUS MENENTUKAN setelah saya memahami sikap dan pendapat dan cara hidup orang zaman dulu di kawasan dunia yang tidak sama.

Kita TIDAK MUNGKIN memindahkan dunia mereka bulat-bulat ke dunia kita. Kehidupan kita sekarang juga tidak mungkin menjadi fotokopi sempurna kehidupan mereka. Isi pikiran mereka juga tidak mungkin menjajah isi pikiran kita. Pengetahuan mereka tentang dunia dan kehidupan sudah ketinggalan sangat jauh dari pengetahuan modern kita. Teknologi modern kita, sebaliknya, tidak akan bisa mereka pahami seandainya mereka bisa menyaksikannya sekarang.

Tidak mungkin seorang manusia pria purba yang membawa sebuah gada batu besar dengan berpakaian jerami sambil menyantap daging bakar paha rusa gemuk dan besar yang masih berasap, ditemukan sedang naik turun dengan lift atau oskilator di mal-mal besar dan modern di Jakarta atau di Surabaya atau di New York atau di Dubai, atau di Abu Dhabi UEA, abad ke-21 sekarang.

Kalau dulu moyang kita mengimajinasikan orang-orang suci menunggang kuda-kuda terbang atau mengemudikan kereta-kereta kencana yang ditarik kuda-kuda berapi untuk meninggalkan Bumi lalu masuk ke alam atas, dunia para dewa, tidak demikian lagi halnya dalam dunia kita sekarang.

Para astronot modern memakai wahana ulang-alik bermesin jet atau bermesin lain yang lebih maju untuk tiba di Bulan di tahun 1960-an dan selanjutnya, atau kini untuk tiba di International Space Station di angkasa luar, dan untuk kembali dari ISS ke Bumi. Dengan berbagai wantariksa yang berkecepatan makin tinggi karena teknologi penerbangan angkasa luar yang makin maju, NASA dan/atau ESA telah mengirim dan mendaratkan rover-rover, dan tak lama lagi astronot-astronot, di planet Mars, dalam rangka mengkaji planet ini dengan mendalam supaya nanti, sebentar lagi, dapat didiami manusia sebagai rumah kedua.

Ada bukan saja kesenjangan eksistensial yang sangat lebar, tapi juga kesenjangan sejarah, kesenjangan dunia pemikiran dan sosiobudaya, gaya hidup, dan iptek, yang sangat besar, antara kita dan insan-insan kuno yang membangun agama-agama skriptural dan nonskriptural.

Tapi kalau kita bisa menjadi arif dalam kehidupan kita sekarang jika kita tarik esensi kearifan mereka, ya kita pakai kearifan mereka dengan cerdas dan hati yang lembut.

Kalau kita bisa menjadi lebih tangguh dan riang dalam kehidupan kita yang penuh duka dan azab ketika kita baca dan serap kisah-kisah heroik metaforis sosok-sosok suci masa lampau, ya kisah-kisah mereka itu kita jadikan kisah-kisah dasar, foundational stories atau basic metaphors, bagi kita sebagai tempat kita berpijak dan berjalan dengan berani dalam kehidupan kita di masa kini.

Di atas kisah-kisah dan berbagai metafora dasar kuno ini, kita menulis dan membangun sendiri kisah-kisah dan metafora-metafora diri kita sendiri, yang tak pernah habis, bahkan ketika kita sudah tiada. Kok? Ya, karena, sejauh kita telah hidup dengan akbar, orang lain (anak dan cucu atau cicit kita, atau murid kita, misalnya) selanjutnya akan menyusun kisah-kisah dan berbagai metafora kehidupan kita dari sudut pandang mereka sementara yang tertinggal dari diri kita cuma unsur-unsur kimia carbon di alam ini.

Tapi, kalau karena mengikuti bulat-bulat cara manusia zaman dulu hidup dan pola pikiran dan pandangan dunia mereka, metafora mereka, kita malah jadi bodoh, jadi tidak bisa hidup arif, jadi tidak bisa berguna, jadi tidak membangun, jadi tidak bisa merasakan dan memberi kebahagiaan di zaman kita di tempat kita, jadi brutal dan durjana, ya kita TIDAK PERLU mengikuti mereka. 

Catat ini: kalau kita sudah tahu dan paham bahwa sebuah metafora religius kuno memuat pesan-pesan yang jahat dan keji, tapi tetap kita ikuti dan laksanakan begitu saja di zaman dan dunia kita, jangan salahkan orang zaman kuno di dunia lain (karena mereka semua sudah mati), tapi salahkan diri kita sendiri yang keterlaluan dungu dan sudah mengalami kematian akal dan nurani.


Sikap yang benar adalah ini: semua metafora yang disusun moyang kita, yang tidak bermanfaat positif, yang destruktif, bagi kita di abad ke-21, ya kita remove, delete, unfriend-kan, atau unfollow, atau block, dari akal dan hati dan kehidupan kita. Akal sehat kita membimbing kita ke situ, apalagi akal ilmiah. Akal ilmiah (scientific mind) seringkali tidak atau sukar bisa dipahami akal sehat (common sense) belaka.

Aktivitas kritis dua arah itu namanya HERMENEUTIK: kita menengok masa lalu, mengkaji masa lampau, memahaminya, setelah itu menengok masa kini, mengenali masa kini. Dua kegiatan ini ilmiah, tidak serampangan, dan tidak didukung cuma oleh doa atau cuma oleh roh ilahi. Kita menggunakan ilmu pengetahuan lintasbidang untuk keduanya. Otak manusia modern itulah yang memungkinkan ilmu pengetahuan hadir dalam dunia.

Dus, beriman itu jangan sekali-kali dipisah dari berilmu, supaya kita tidak jadi lumpuh atau jalan pincang. Ilmu pengetahuan, yang membuat kita tahu makin banyak hal, juga sebuah jalan mulia menuju Tuhan yang mahatahu tanpa batas.

Jika Tuhan mahatahu, kita juga harus melangkah maju ke depan untuk makin tahu banyak hal dalam jagat raya ini. Tuhan YMTahu tidak akan pernah takut tersaingi oleh kita jika kita, lambat atau cepat, makin banyak tahu dan terus makin banyak tahu. Semakin kita tahu banyak hal, semakin bahagia dan bangga hati Tuhan, sang Bunda Semesta atau sang Orangtua Semesta. Setiap bunda atau ayah akan pilu dan merana di hati jika anak-anak mereka tetap bodoh, tidak berpengetahuan, karena tidak bisa disekolahkan.

Begitu anda telah menjadi seorang ilmuwan peneliti yang beken di seluruh dunia, maka Tuhan YMTahu pun menjadi sang Kolega Sejati dalam setiap usaha penelitian anda. Tuhan akan membantu anda untuk makin banyak tahu tanpa batas. Tuhan YMTahu terus-menerus memperbesar kuriositas anda dan membantu anda tambah cerdas untuk meneliti tanpa kendala. Anda menjadi seorang yang inquisitive, serba bertanya, serba ingin tahu.

Kalau dalam kitab-kitab suci teistik tertentu disebut bahwa manusia itu segambar dan serupa dengan Allah, sudah seharusnya frasa ini tidak dipahami secara jasmaniah. Homo sapiens segambar dan serupa dengan Allah karena memang kita memiliki kemampuan untuk dari waktu ke waktu makin banyak tahu, sampai nantinya akan betul-betul mahatahu tanpa batas akhir lewat iptek yang terus maju dan berkembang dan lewat superevolusi artifisial kecerdasan manusia.

Pemahaman saya dalam paragraf persis di atas tentu tidak bisa diterima para penulis kitab-kitab suci kuno dan para agamawan konservatif masa kini yang justru mencurigai dan berusaha mematikan dorongan ingin tahu atau kuriositas yang sudah tertanam dalam otak kita, sebagai fungsi inheren utama otak Homo sapiens.

Rasa dan dorongan kuat ingin tahu atau kuriositas inilah yang menjadi faktor besar utama iptek dapat dibangun manusia tanpa akhir, lintaszaman dan lintastempat. Jika manusia seutuhnya betul ciptaan Tuhan, maka siapakah yang menanamkan kuriositas dalam otak mereka? Tentu Tuhan. Ataukah menurut anda Lucifer? Atau Dajjal?

Setelah aktivitas hermeneutik kritis dua arah itu kita lakukan dengan cerdas, kita harus MEMUTUSKAN SENDIRI dengan cerdas dan arif APA YANG KITA HARUS LAKUKAN SEKARANG DI DUNIA KITA, setelah mempertimbangkan secara dialektis kritis dan realistik sejarah dunia kuno dan realitas masa kini yang semuanya multidimensional. Inilah yang saya namakan hermeneutik realis kritis.

Begitulah beragama dengan cerdas. Beragama dengan berilmu. Beragama dengan makin banyak tahu. Beragama dengan makin arif, dengan makin banyak tafakur. Dan tentu saja, beragama dengan bermartabat, bermarwah, dengan bermahatma, berjiwa besar, berhati besar dan riang. Jangan sekali-kali beragama dengan kerdil, degil, dekil, tengil, centil, musykil, yakni beragama bak kutil yang harus dipotong dan dibuang dari kulit.

Jika itu corak dan kualitas keberagamaan kita, ya agama-agama jadi tidak membosankan. Kita tidak akan kehilangan minat pada agama-agama. Muak agama? Sebaiknya tidak perlu.


Setua apapun usia suatu agama, tidak harus agama ini menjadi kumpulan fosil purba, sejauh kita tahu bagaimana membuka dan menyingkap dan menggali lapisan-lapisan kerak-kerak sedimen agama-agama, lalu memanfaatkan barang-barang tambang berharga yang ada di dalam sedimen-sedimen ini dengan cerdas. Barang tambang yang berharga ini kita ambil, dan sedimen-sedimen dan kerak-kerak yang membungkusnya ya kita singkirkan.

Ingatlah, di bagian dalam dua kelopak keras sebuah kerang yang tertutup, kita bisa menemukan sebuah mutiara berharga, atau tidak menemukan apa-apa, ketika kelopak-kelopaknya ini kita buka, kita seruak dan kuak. Membuka dan menguaknya harus cerdas dan cakap.

Agama-agama itu adalah cermin diri kemanusiaan kita di masa lalu dalam diri banyak insan pendahulu kita yang hidup ratusan tahun yang lalu atau sekian milenium yang telah lewat. Menengok ke masa lalu, dan dengan cerdas menarik hikmah dari masa lalu, jika memang ada hikmahnya, adalah suatu kegiatan yang menawan hati, menyenangkan, menggembirakan, mengasyikkan, dan membuat kita makin bijak.

Jadi, pilih ateisme, kehilangan minat pada agama? Ya, jangan pernah. Apalagi jika anda mampu menerapkan kajian-kajian neurosains pada anekaragam sikap dan perilaku keagamaan di dunia modern kini. Serius loh, kemampuan keilmuan anda ini mungkin akan membuat eling sangat banyak orang yang sedang mabuk agama.

Mabuk agama tidak pas jika dilawan dengan muak agama. Mabuk, jadi muntah. Muak, ya muntah juga akhirnya. Muntah-muntahan. Ya, dunia jadi tambah bau.

Tapi jika anda memilih jadi ateis jenis apapun, terang-terangan atau gelap-gelapan, dan sangat muak pada agama-agama, ya tak apa-apa juga. Bebas saja, asal bertanggungjawab. Sesudah muntah, ya bersihkan sendiri. Jangan suruh orang lain yang membersihkan.

Jakarta, 07 Maret 2017
Editing mutakhir 12 April 2017

Salam,
ioanes rakhmat