Wednesday, February 8, 2017

Wahai Puteraku, Hidup Ini Memang duka. Jadi, Bernyanyilah!


Puteraku,
Menangislah jika ingin
Tertawalah jika mau
Supaya lengkap hidupmu
Saat jadi mayat apapun tak ingin
Hanya kesunyian yang tertinggal
Tapi tetap aku mau dengar
Kesunyianmu yang paling sunyi


Wahai puteraku

Jangan sedih. Kau segera tahu bagaimana caranya untuk tidak sedih walaupun sekarang ada cukup alasan bagimu untuk sedih.

Hidup ini memang “dukkha”, derita. Dari kecil papa sampai sekarang merasakan hidup ini memang dukkha. Kata dukkha (Indonesia: duka), dari bahasa Pali, artinya rasa pedih yang amat sangat, yang muncul ketika ujung patahan-patahan tulang dalam tubuh kita mencocok daging dan saraf di sekitarnya. Papa sekarang mau bercerita pendek dulu kepadamu.


Ketika masih sebagai seorang pangeran muda, Siddhartha Gautama (563-483 SM) dengan dikawal, keluar meninggalkan istana kerajaan. Di luar istana, di dunia real, dia melihat beberapa hal yang membuat dia menyimpulkan bahwa hidup ini memang dukkha, penderitaan, azab, suffering, pain, Elend, Pein, ellende, pijn.

Pertama, Gautama melihat seorang yang yang berpakaian compang-camping, tangan kanannya memegang sebuah belahan batok kelapa, meminta-minta pada setiap orang yang berpapasan dengannya. Tubuh orang itu bau, ceking tanda kurang makan, dan kulitnya kusam tak terawat. Gautama tidak mengerti, apa yang sedang dilakukan orang itu dan kenapa orang itu kelihatan kusut dan tak terurus. Dia minta penjelasan dari seorang pengawalnya tentang apa yang sedang dilihatnya.

Pengawalnya memberitahu sang pangeran bahwa orang itu seorang pengemis, tidak punya pekerjaan yang layak sebagai sumber nafkah, tidak punya uang, tidak punya makanan, hidup terlunta-lunta setiap hari, hari ini bisa dapat sesuap nasi, besok belum tentu. Hidupnya bak seekor anjing geladak, kudisan, bau, kotor, mengais-ngais di tempat-tempat sampah mencari sisa-sisa makanan.

Tersentak Siddhartha mendengar penjelasan pengawalnya itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa itu mengemis, mengapa ada manusia sampai harus mengemis, kok bisa ada orang yang tidak punya makanan, dan hidup tidak terjamin. Mengapa? Mengapa? Dia yakin, si pengemis itu tentu sengsara, tidak berbahagia dan tidak terjamin hidupnya. Lalu Siddhartha mulai merenungi dirinya sendiri. Dia mulai merasa ada yang tidak beres dalam dunia ini. Tapi apa?

Ketika Siddhartha melanjutkan perjalanannya, dia melihat di pinggir jalan ada orang yang merintih, terkapar, kesakitan. Gautama untuk kedua kalinya tidak paham sama sekali. Sebelumnya dia tidak pernah melihat orang sakit dalam istana ayahnya. Dia tanya lagi pengawalnya, apa yang sedang terjadi pada orang yang terkapar itu. Sang pengawal menjawab, orang itu sedang sakit. Gautama kaget, baru dia tahu kalau manusia bisa sakit. Dia terus merenungi fakta ini.

Kemudian, ketiga, dalam perjalanan lebih lanjut, dia menemukan seorang yang ringkih, ceking, lansia, tertatih dan terbungkuk-bungkuk berjalan dengan sebuah tongkat, wajah cekung hanya berbalut kulit. Gautama heran, kenapa orang itu. Dia tanya lagi ke pengawal yang sama, apa yang sedang menimpa orang itu. Pengawalnya bilang, itu orang tua, sudah jompo, dan semua orang akhirnya akan jadi tua dan menderita. Gautama kaget lagi karena dia baru tahu orang harus akhirnya tua renta. Dia merenung dalam-dalam lagi.

Selanjutnya, keempat, Gautama dalam perjalanannya melihat iring-iringan orang ramai yang semuanya meratap sementara di tengah mereka ada sebuah keranda berisi mayat yang sedang diusung. Gautama tidak paham, apa yang sedang terjadi. Terlalu lama dia hidup dipingit dalam istana ayahnya, dijauhkan dari segala kesusahan, azab dan realitas dunia.

Pengawalnya kembali menjelaskan, orang-orang itu meratap karena telah ditinggalkan seorang kekasih mereka yang telah mati dan mayatnya ada dalam keranda itu.

Mati? Mati? Gautama kaget luar biasa. Apa itu mati? Kini dia baru tahu lagi kalau orang akhirnya harus mati, menjadi mayat, tidak bergerak lagi, tidak bernafas lagi, tidak hidup lagi. Gautama sangat terpukul. Sedih bukan kepalang. Pilu hatinya. Ada rasa takut muncul di hatinya. Dia kembali merenung dalam-dalam. Apa arti semua kejadian yang telah dilihatnya itu? Apa penyebab semua itu? Bisakah diatasi?

Empat pengalaman itu membuat Gautama resah dan gelisah di hari-hari selanjutnya. Dia mulai merasa bahwa kehidupan yang selama ini dijalaninya dalam istana bukanlah kehidupan yang real. Ada sesuatu yang sangat mengerikan di luar istana.

Di hari-hari berikutnya, Gautama mulai menyimpulkan, hidup ini yang harus dijalani dengan kesusahan dan kemiskinan, dengan tertimpa sakit-penyakit, dengan mengalami usia tua, dan akhirnya mati, adalah dukkha, penderitaan, yang nyata senyata-nyatanya.

Akhirnya Gautama memutuskan tidak mau mewarisi takhta kerajaan ayahnya. Dia bertekad bulat untuk mencari dan menemukan jalan bagaimana orang bisa lepas dari dukkha. Lalu, di usia 29 tahun, dia menjalani kehidupan beberapa aliran asketisisme, hidup menjauh dari dunia, bertapa di hutan-hutan, sempat sekian lama menyiksa diri, juga pindah-pindah dari satu aliran ke aliran lain, dari satu guru ke guru lain.

Akhirnya, bertahun-tahun kemudian setelah berguru dan kemudian membuka jalan asketis sendiri, Gautama di umur 35 tahun menemukan jalan-jalan untuk manusia bisa lepas dari dukkha. Jalan Tengah, the Middle Way, adalah metode Gautama. Tidak ekstrim menyiksa diri atau menolak dunia real. Tapi juga tak ekstrim hidup bersenang-senang saja, takluk pada dunia.

Baginya, ada Jalan Tengah. Ibaratnya, Gautama tidak mau menyetel senar kecapi terlalu kencang sehingga putus, dan juga tidak ingin terlalu kendur sehingga bersuara sember. Harus disetel pas, di tengah-tengah: tidak kekencangan dan juga tidak kendur. Fine tuning.

Menurut legenda, Gautama menemukan Jalan Tengah dan akar penyebab dukkha setelah dia bermeditasi selama 49 hari di bawah sebuah pohon besar dan rimbun di suatu tempat di kawasan Buddhagaya. Inilah pencerahan atau penerangan budi yang paripurna. Karena itulah pohon besar itu diberi nama Pohon Bodhi, artinya Pohon Pencerahan.

Sehabis menemukan jawaban yang menurutnya adalah jalan melepaskan diri dari dukkha, Siddhartha bangkit dan berdiri di depan pohon itu, menatapnya tanpa berkedip dan tanpa bergerak selama 7 hari 7 malam sebagai tanda terima kasih yang besar kepada sang pohon. Siddhartha pun mengalami transformasi dari status sang pencari, masuk ke status Sang Tercerahkan, Sang Buddha.

Satu prinsip paling mendasar dalam agama Buddha dalam mengalahkan penderitaan adalah BERSIKAP BENAR terhadap dunia dan terhadap penderitaan.

Wahai puteraku. Apapun yang ada dalam dunia ini boleh kau miliki dengan cara yang benar, asalkan jangan yang kau miliki itu mengikat dirimu atau kamu mengikatkan dirimu kepada milikmu itu. Kamu tidak boleh dihanyutkan arus dari hulu dan juga arus dari hilir. Kamu harus berada di tengahnya, di pusaran air tanpa tersedot masuk dan tenggelam. Kamu harus jadi sang tuan, sang master, atas semua harta benda yang kau peroleh dengan cara yang benar. Tak boleh kebalikannya.

Kalaupun engkau tidak punya uang, hidup miskin, jangan juga kemiskinan dan kesusahanmu menjadi tuan atas dirimu, mengendalikanmu, akhirnya membinasakanmu.

Baik saat kamu punya banyak harta, maupun saat kamu melarat, satu hal harus kamu pegang: jangan sekali-kali kekayaanmu, atau kemiskinanmu, mengendalikan dirimu, menyetir dirimu, merebut dirimu, yang akan menimbulkan masalah-masalah berantai yang akan membuat dirimu jatuh ke dalam penderitaan.

Penderitaan memang tidak bisa ditiadakan sampai ke akar-akarnya. Satu dukkha lenyap, dukkha yang lain akan pasti mendatangi. Penderitaan boleh tetap ada, tapi jangan biarkan penderitaan mengendalikanmu atau menghancurkanmu. Kamulah yang harus mengendalikan dan mengelola penderitaan lewat SIKAP YANG BENAR terhadap penderitaan.

Ringkas kata, apapun yang ada dalam dunia ini yang kamu miliki, atau yang tidak kamu miliki dan karenanya kamu dambakan, dan apapun yang kamu alami dalam dunia ini, suka atau duka, sukses atau gagal, JANGAN KAU BIARKAN DIRIMU MELEKAT atau TERSANDERA OLEH SEMUA ITU. Inilah prinsip yang dalam bahasa Pali dinamakan NEKKHAMMA, terjemahan Inggrisnya “detachment” atau “non-attachment”. Terjemahan Indonesia: keberjarakan, ketidaklekatan, kondisi tidak dikuasai, kondisi terpisah-tapi-bersama.


Belajarlah kearifan dari bunga teratai!

Lihatlah dunia sekitarmu. Nekkhamma itu diperlihatkan dengan jelas oleh setangkai bunga teratai dan daun-daunnya yang hijau mekar dan terhampar di atas air yang kotor atau air yang berlumpur hitam. Lapisan semacam minyak pada seluruh permukaan helai-helai daun dan helai-helai bunga teratai membuat bunga teratai ini tidak ikut ternoda atau tercemar oleh air yang kotor atau lumpur yang hitam. Berada di air keruh, dengan akar masuk ke dalam air yang kotor, tidak membuat setangkai teratai ikut kotor. Bunga teratai tidak lekat pada air meskipun ada di air. Ada jarak. Ada kemerdekaan. Ada pemisah. Ada ketidaklekatan.

Dengan menjalankan prinsip NEKKHAMMA―lewat latihan dan membiasakan diri terus-menerus TIDAK LEKAT, MENGAMBIL JARAK, TIDAK DIKUASAI, terhadap dan oleh apapun yang kita miliki atau yang kita tidak miliki atau yang sedang kita alami―kita akan makin bisa hidup dengan merdeka, terlepas dari rasa sakit dan pedih, dari azab dan sengsara, dari tipudaya dunia, dari rasa kehilangan, dari rasa kekurangan, dan dari rasa kelebihan. Lalu kita masuk ke dalam kehidupan yang tenang, kalem, simpel, bersahaja, cukup, puas, damai, sejuk, teduh, riang, dan memberi kebahagiaan, naungan, perteduhan dan ketenteraman bagi sesama manusia dan makhluk-makhluk lain.

Dunia tidak bisa engkau jauhi sebab engkau ada di dalam dunia. Dunia boleh ada seperti biasa, yakni campuran suka dan duka, kekerasan dan kelembutan, sakit dan sehat, kuat dan lemah, kaya dan miskin, mati dan hidup, perang dan damai, tawa dan tangis, sukses dan gagal, memiliki dan tidak memiliki, berpakaian dan telanjang, kenyang dan lapar, terang dan gelap, sesak dan lapang, pahit dan manis.

Tetapi dengan NEKKHAMMA, kita tidak dikendalikan semua itu. Bukan hal-hal itu yang menjadi sang master atas diri kita. Tetapi sebaliknya: kitalah sang master yang tak terkalahkan atas semua kondisi itu, lewat sikap merdeka kita, lewat ketidaklekatan kita, lewat keberjarakan kita, lewat kemandirian kita, lewat keterpisahan kita.

Jika setiap orang sukses melaksanakan NEKKHAMMA, maka kehidupan dunia, kehidupan perorangan, dan kehidupan masyarakat, akan berubah menjadi kehidupan yang berdayatahan, yang menenteramkan.

Di dalamnya orang hidup tidak rakus, tidak korup, tidak serakah, tidak panik, tidak bejad, tidak egois, tidak culas, tidak dengki, tidak haus segala hal dan segala benda, tidak gila kekuasaan, tidak dikalahkan nafsu berahi, tapi agung dalam pikiran, kehendak, ucapan dan tindakan. Satu sama lain peduli. Saling menguatkan, saling menyembuhkan, saling membebaskan dari segala belenggu matarantai dukkha, sakit, kesepian, hawa nafsu, niat jahat, mati dan kelahiran, dan kesia-siaan.


Begitulah petunjukku bagimu, puteraku. Telunjukku terarah ke sang rembulan saja. Kamulah yang perlu sampai di sana. Dekat saja jaraknya jika engkau memahami semua ucapan papamu di atas. Jadikanlah nasihat papa ini sebagai sebuah jembatan untuk kamu menyeberang masuk ke nirwana. Nirwana itu ada dalam dirimu, tidak jauh lokasinya, dan tidak jauh di masa depan.

Wahai puteraku
Hidup ini memang duka 
Tak ada kehidupan tanpa ratapan
Jadi, bernyanyilah!

My son
Life is indeed suffering
Life without cry does not exist
Therefore, sing cheerfully!

Semoga semua makhluk berbahagia.

Jakarta, 08 Feb 2017
ioanes rakhmat